HIKMAH, Kalimat netral "wani piro"
yg berobah menjadi jargon berkonotasi negatif: suap/korupsi, ahir ahir
ini begitu lekat kuat di alamatkan pada kalangan pejabat dalam
institusi dan departemen apa pun, terutama " kejaksaan dan MK" yg
jelas-jelas ngurusi masalah "hukum", guna melancarkan kepentingan
pribadinya.
Populernya jargon "wani piro", lantaran ditengarai adanya awa-awak dari institusi hukum dan para pembantunya yg sudah nekat menjual "pasal2nya", layaknya pedagang di pasar tradisional yg kental dengan rumus "tawar-menawar"harga barang yg dijual. Bedanya kalo dipasar tradisional, obyek yg ditawarkan adalah halal.
Kuatnya "mantra" wani piro yg merajalela di semua lini, bisa jadi berawal dari "pola didik" nasional yg tidak proporsional, timpang antara otak kiri&kanan. Alias lebih kuat berorientasi pada kecerdasan intlektual. Ahirnya melahirkan produk tunas muda yg hanya pintar tentang ilmu pengetahuan dan ilmu agama islam (islamologi). Bisa disebut ilmu "olah intlektual".
Akan tetapi, mereka tidak pintar tentang ilmu "olah rasa" yg berkait erat dg dimensi kebudayaan, integritas, moral dan ahlaq. Maka tidak heran , ketika mereka sudah menjadi penguasa/pejabat ato posisi prestisius lainnya , akan "mentolo" (baca : tega) melukai, menindas rakyat atao bawahannya lewat praktek manipulasi anggaran, gratifikasi atao suap dan korupsi. Sebab mereka sudah mengalami "mati rasa". Akibatnya muncul krisis spiritualitas.
So, jika ingin membuat perobahan di negri ini, tentunya cara yang lebih tepat adalah lewat "revolusi" sisitem pendidikan". Bisa disebut pemangkasan kultur generasi secara natural.
(Refleksi)
By: Hamory Hasan Makmoery
Populernya jargon "wani piro", lantaran ditengarai adanya awa-awak dari institusi hukum dan para pembantunya yg sudah nekat menjual "pasal2nya", layaknya pedagang di pasar tradisional yg kental dengan rumus "tawar-menawar"harga barang yg dijual. Bedanya kalo dipasar tradisional, obyek yg ditawarkan adalah halal.
Kuatnya "mantra" wani piro yg merajalela di semua lini, bisa jadi berawal dari "pola didik" nasional yg tidak proporsional, timpang antara otak kiri&kanan. Alias lebih kuat berorientasi pada kecerdasan intlektual. Ahirnya melahirkan produk tunas muda yg hanya pintar tentang ilmu pengetahuan dan ilmu agama islam (islamologi). Bisa disebut ilmu "olah intlektual".
Akan tetapi, mereka tidak pintar tentang ilmu "olah rasa" yg berkait erat dg dimensi kebudayaan, integritas, moral dan ahlaq. Maka tidak heran , ketika mereka sudah menjadi penguasa/pejabat ato posisi prestisius lainnya , akan "mentolo" (baca : tega) melukai, menindas rakyat atao bawahannya lewat praktek manipulasi anggaran, gratifikasi atao suap dan korupsi. Sebab mereka sudah mengalami "mati rasa". Akibatnya muncul krisis spiritualitas.
So, jika ingin membuat perobahan di negri ini, tentunya cara yang lebih tepat adalah lewat "revolusi" sisitem pendidikan". Bisa disebut pemangkasan kultur generasi secara natural.
(Refleksi)
By: Hamory Hasan Makmoery
Grup: AL HIKMAH
Kudus 3 jan 2014«
Kudus 3 jan 2014«
0 komentar:
Posting Komentar